Selasa, 28 September 2010

MANUSIA SELALU MENGEJAR KEBUTUHAN EMOSI DASARNYA

Ada dua kisah:
Seorang remaja putra, sebut saja Ane, sedang patah hati, putus dari pacarnya , dan merasa seolah-olah semuanya hilang, tidak ada pegangan, tidak mampu untuk menjadi kembali dirinya yang dulu selama dia pacaran dengan kekasihnya

Seorang wanita, sebut saja Bunga, yang pernah dikhianati oleh pacarnya yang dulu, menjadi sangat paranoid dan overprotective kepada pacarnya yang sekarang. Hal tersebut membuat dia dan pacarnya jadi sering bertengkar.

Hal diatas bisa terjadi karena diakibatkan oleh karena kedua remaja tersebut mempunyai perasaan tidak berharaga atau tidak dicintai oleh orangtuanya ketika kecil dan akhinnya menjadi meledak ketika dia kehilangan pacarnya. Ilustrasi cerita beriukut ini akan membuat anda semakin mengerti:

Ketika seorang anak datang ke ayahnya untuk menunjukkan gambar yang baru selesai dibuatnya, dan ditolak oleh ayahnya karena ayahnya sedang sibuk bekerja, bisa jadi sang anak merasa sedih karena ditolak oleh figur yang dia pandang penting dalam hidupnya.

Dari kejadian sepele ini, pikiran sang anak (dengan segala keterbatasan wawasan seorang anak) bisa saja menyimpulkan bahwa “aku tidak berharga” atau “aku tidak penting” atau “aku tidak layak dicintai” atau kesimpulan-kesimpulan negatif lainnya karena ayahnya lebih mementingkan pekerjaannya daripada dirinya.

Kejadian ini terlihat sepele, apalagi setelah ayahnya selesai dengan pekerjaannya, dia kemudian mendatangi sang anak dan menanyakan tentang gambar tadi, serta memuji sang anak karena gambarnya bagus, sang anak terlihat ceria, dan ayahnya berpikir sudah tidak ada masalah.

Tetapi, keyakinan yang disimpulkan dari penolakan oleh ayahnya tadi, bisa jadi tetap ada dalam diri sang anak (lebih tepatnya, pada pikiran bawah sadar sang anak, dan tidak disadari bahkan oleh sang anak sendiri) dan bisa secara signifikan mempengaruhi kehidupan sang anak.

Efek apa yang akan ditimbulkan oleh keyakinan ini bergantung kejadian-kejadian selanjutnya yang dia alami. Jika dalam hidupnya selanjutnya sang anak mendapatkan banyak kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya, keyakinan ini mungkin akan bersifat pasif, bahkan hilang begitu saja.

Tetapi jika dalam hidup selanjutnya sang anak tidak merasakan orang tuanya cukup mencintainya (bukan berarti orang tuanya tidak mencintainya lho ya, bisa saja orang tuanya benar mencintainya, tapi tidak bisa membuat sang anak merasa dicintai), kejadian-kejadian sepele lainnya seperti tida adanya penghargaan ketika anak berprestasi dll, bisa saja membuat keyakinan “aku tidak berharga” sang anak semakin kuat.

Ketika dewasa, sang anak bisa jadi adalah si Ane atau si Bunga yang diceritakan di atas.

Si Ane bisa saja cantik, tetapi jauh di dalam hatinya tersimpan keyakinan bahwa dia tidak berharga, sehingga ada bagian dirinya yang takut tidak mendapatkan pasangan lebih baik dari mantan pacarnya

Si Bunga bisa saja mempunyai keyakinan bahwa dia tidak berharga sehingga sangat takut pacarnya akan menyeleweng.

Yang lebih menarik adalah, keyakinan itu tersimpan cukup dalam di bawah sadar, sehingga kadang bahkan sang pemilik tidak menyadari adanya keyakinan tersebut. Keyakinan inilah, yang memunculkan emosi-emosi negatif yang dirasakan setiap ada suatu kejadian yang memicu. Jadi, suatu kejadian yang disertai emosi dapat membentuk suatu keyakinan, dan keyakinan inilah yang selanjutnya membangkitkan emosi setiap kali ada kejadian pemicu.

Apa yang dijelaskan diatas menjelaskan kenapa orang selalu mengejar kebutuhan emosi dasarnya. Jika kebutuhan emosi dasarnya sejak kecil tidak terpenuhi, maka ketika dewasa dia akan melakukan segala cara agar kebutuhan emosi dasarnya terpenuhi.

Sumber: Yendi
Salam hidup lebih baik

Jimmy K Santosa
Trainer sekolah orangtua
http:// www.sekolahorangtua.com

Tidak ada komentar: